Tag

, , , ,

Pagi-pagi sekali saya sudah bangun, bergegas mandi, dan harus antre dengan pemilik rumah. Niatnya segera ikut sholat idul adha, sayangnya ketika saya tiba di Masjid, khutbah sudah mulai. Ya saya tidak ikut sholat, langsung mendengarkan khutbah.

Paragraf di atas sebagai pembuka saja. Sebab itu biasa terjadi. Yang tidak biasa adalah ketika sepulang dari Masjid dan di depan rumah Abang saya ada tamu. Saya kenal tamu ini, dia teman Abang saya. Yang membuat saya terkejut dia membawa dua ekor kambing. Apakah ini kambing Abang saya? Beliau mau ikut qurban? Alhamdulilah, pikir saya.

Saya persilakan teman Abang saya ini masuk, tentu lebih dulu mengikat kambingnya di samping rumah, setelah sebelumnya menurunkan dari mobil bak terbuka.

Ternyata dugaan saya salah, due ekor kambing itu bukan calon hewan qurban Abang saya. Tapi kambing itu milik si tamu ini. Agar lebih mudah saya sebut saja Bang Nuel.

Ya dua kambing itu milik Bang Nuel. Rumah Bang Nuel di desa sebelah, tetapi sehari-hari berkegiatan di desa Abang saya. Mereka berdua mencari peruntungan dengan membuka industri rumahan untuk pengolahan kayu. Apa sekarang mereka juga cari peruntungan jual kambing buat qurban?

Sembari menunggu Abang saya pulang dari masjid, karena sedang ikut menjadi panitia qurban. Saya ngobrol-ngobrol dengan Bang Nuel. Saya cukup kenal dekat dengan dia, walau demikian obrolan kami tidak bisa bertahan lama. Maka satu gelas kopi saya hidangkan, agar ada jeda untuk saya ke dapur sebentar.

Setelah nyeruput kopi dalam-dalam. Obrolan kembali berlanjut.
“Abangmu masih lama nggak ya pulangnya?”
“Harusnya nggak bang, kan perlu ganti baju dulu”
“Oh begitu. Lha itu mulai jam berapa pemotongan qurbannya?”
“Jam sembilan paling bang”
“Sebenarnya saya mau ikutan qurban, tapi saya bingung caranya” Seketika saya jadi berpikir. Bukankah beliau ini ke Gereja di hari minggu? Beliau mau qurban? Sebentar ini salah dengar atau bagaimana.
“Bingung kenapa bang” Ya, kalimat itu yang keluar dengan polosnya dari mulut saya.
“Saya kan nasrani mas” Ya, dan saya tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya saya segera meminta keluar sebentar, dari pada saya salah bicara.

Saya sedikit berlari menuju Masjid. Lalu menyampaikan ke Abang saya kalau ada Bang Nuel di rumah. Dan entah mengapa saya langsung ke point pembicaraan saya dengan Bang Nuel di rumah tadi. Abang saya segera bergegas ke rumah, dengan tertawa lebih dulu sebelumnya.

Selanjutnya saya hanya ikut nimbrung obrolan dan menikmati segelah kopi dan sebatang dua rokok. Intinya Bang Nuel ingin ikut merayakan hari raya qurban, sebagai bentuk rasa terimakasih untuk warga desa yang selama ini sudah membantu bekerja di usaha dia dan abang saya.

Hanya saja Bang Nuel tidak mau ada yang tahu kalau dua ekor kambing itu dari dia.
“Biar nanti bikin sate rame-rame bisa lebih banyak” Ucap Bang Nuel.
“Tapi apa ini tidak melanggar aturan” Lanjut Bang Nuel. Abang saya yang secara agama tidak paham apa hukumnya memberi kambing di hari qurban untuk seseorang yang tidak disunahkan berqurban, dengan mantap menjabat tangan sahabatnya itu.
“Mungkin namanya sedekah, dan Yesus juga seorang pengembala domba yang baik bukan?”
“Yesus juga suka sate kambing saya rasa” Jawab Bang Nuel. Saya ikut tertawa bersama dua sahabat itu.

Setelah berganti baju, Abang saya segera menggiring dua ekor kambing dari Bang Nuel ke Masjid. Bang Nuel tidak ikut, dia tidak mau ada yang tahu kalau kambing itu hadiah dari dirinya. Bang Nuel pamit pulang, dan janji akan datang nanti ketika bakar sate dan pembubaran panitia qurban.

Sepulang sholat jumat tadi, saya penasaran bagaimana Abang saya menjelaskan ke Kiai desa (sebutan untuk sesepuh desa yang paham agama, biasanya imam masjid, lebih sering di panggil Mbah Yai) tentang dua ekor kambing dari Bang Nuel.
“Ya aku kasih tau sama Mbah Yai, kalau itu dari Nuel dan dia nggak mau ada yang tahu”

Dan dari cerita Abang saya, Mbah Yai tidak menyampaikan ayat atau hadis apapun.
Mbah Yai hanya bilang “Rejeki dari orang yang bersyukur jangan di tolak”

Dan baru saja Bang Nuel datang ke Masjid, untuk ikut bakar sate dan makan gule bersama. Bang Nuel memang sangat dekat dengan warga yang juga sebagai rekanan usaha dirinya. Tentu saja beliau bersikap biasa dan merasa aman-aman saja seperti tahun Idul Adha sebelumnya. Padahal semua yang ada di sana tahu betul Bang Nuel ikut qurban, due ekor kambing pula.

“Wah kok qurban di desa kita kambing semua ya udah dua tahun” Ucap Abang saya.
“Siapa tahu tahun depan bukan kambing lagi tapi ada sapi yang nyasar minta potong di sini” Ucap Mbah Yai tiba-tiba di sambut tawa warga, dan warga menyalami Bang Nuel bergantian sebagai bentuk terimakasih atas penghormatan hari besar Idul Adha dari dia.

“Ming kowe pancen Asu” (Ming kamu memang anjing) Umpat Bang Nuel melempar tulang ke arah Abang saya, karena Abang saya tidak mau mematuhi permintaan dia untuk diam soal asal usul dua ekor kambing dari Bang Nuel. Dan dua sobat itu tertawa bersama warga. Dilanjut makan gule dan sate bersama.

Saya di sana. Saya menyaksikan itu semua. Saya yang memang kadang suka lebay, sedikit merasa entah apa. Dan saya begitu merasa haru biru jadi satu. Indahnya.

Wonosobo
1 September 2017
Mudjirapontur