Tag

, , ,

Fimadani

Hari ini Jogja tidak hujan dan saya tidak jadi COD ( cash on delivery) dengan Mahmud juragan buku Online Shop. Barang yang saya pesan di mbukak ngelapak juga belum tiba. Sekilas saya jadi teringat pasar tradisional, dan saya kira perlu membagikannya di blog ini.

Belakangan pasar tradisional yang kemudian akan saya sebut sebagai pasar rakyat kian hilang kumandangnya. Jika kita hendak berbicara data, hasil survei AC Nielsen tahun 2013 lalu menunjukkan jumlah pasar rakyat di Indonesia terus mengalami penurunan.

Pada 2007 pasar rakyat berjumlah 13.550, sementara pada 2009 menyusut menjadi 13.450, dan pada 2011 berjumlah 9.950. Sementara itu, perbandingan pertumbuhan pasar rakyat terhadap pasar modern cukup drastis, yaitu pasar rakyat hanya kurang dari 8,1 persen, sedangkan pasar modern 31,4 persen.

Berbicara kegiatan bisnis dan ekonomi kiranya keberlangsungan suatu bisnis adalah keberadaan konsumen, tanpa konsumen selesai sudah bisnis yang kita bangun.

Bagaimana dengan pasar rakyat? Konsumen di pasar rakyat dalam hemat saya selama melakukan penelitian di Divisi Pendidikan Konsumen Sekolah Pasar Rakyat; di dominasi oleh usia 40 tahun ke atas, pun sama halnya pedagang di pasar rakyat rata-rata berusia 40 tahun ke atas.

Kita bisa memperkirakan akan bertahan berapa lama lagi keberadaan pasar rakyat. Cara paling sederhana anggap saja usia terendah yang bergelut di pasar rakyat baik sebagai pedagang maupun konsumen berusia 30 tahun. Jika usia produktif untuk tetap bisa aktif sampai pada usia 60 tahun, maka 30 tahun lagi kemungkinan pasar tradisional mati suri. Ini hanya hitungan sederhana, jika kita menggunakan penelitian AC Nielsen seperti sudah di sebut di atas maka sekitar 12 tahun lagi pasar rakyat kemungkinan tidak lagi terlihat keberadaannya.

Tentu saja akan ada generasi penerus, budaya turun-temurun masih berlaku di negeri ini, namun perlu di ingat seberapa besar? Utamanya untuk konsumen. Pasar muncul karena kebutuhan.

Konsumen usia muda lebih memilih berbelanja di mall atau retail jejaring. Bukan tanpa alasan stigma pasar rakyat; bau, becek, kumuh, bising, semrawut, angker, kualitas barang di ragukan, harga yang mahal dan tidak kekinian. Apa yang di tawarkan pasar rakyat kiranya tidak menarik lagi untuk generasi muda saat ini.

Pemerintah tentu tidak tinggal diam, program revitalisasi pasar cukup gencar dilakukan. Akan tetapi upaya pemerintah untuk merevitalisasi pasar rakyat dengan konsep modern justru cenderung memberi dampak menurunnya pendapatan pedagang.

Pasar yang di bangun vertikal layaknya mall justru di rasa menyulitkan konsumen usia lanjut. Ketika tetap di bangun dengan konsep horizontal biasanya justru keberadaan pasar rakyat hilang. Desain bangunan model ini dalam pengamatan saya adalah yang di bangun megah pada sisi luar, berjejer ruko-ruko yang kemudian menutupi keberadaan pasar rakyat di dalamnya. Sebagai contoh kita bisa lihat pasar Potorono di Jalan Wonosari, Bantul, Yogyakarta.

Kita coba telisik sedikit soal pengelolaan. Salah satu kunci sukses dalam bisnis adalah pemasaran, dalam ilmu manajemen ada banyak faktor yang harus dilakukan oleh pelaku bisnis guna menjaring konsumen sebanyak mungkin.

Gencarnya promosi yang dilakukan oleh pasar swasta tentu menjadikan posisinya semakin aman di atas angin, penawaran diskon, iklan rutin, dan mengadakan event yang melibatkan konsumen. Jelas pengelola pasar swasta menjalankan fungsi pemasaran dengan baik, yang kemudian memosisikan diri bahwa mereka adalah jawaban kebutuhan di era sekarang ini. Citra positif dan loyalitas yang kemudian muncul.

Kembali lagi bahwa pasar ada karena kebutuhan, bisa jadi keberadaan pasar rakyat sudah tidak mampu lagi menjawab kebutuhan generasi muda selaku konsumen. Mengingat kebutuhan berbelanja pada generasi saat ini tidak sekadar mendapatkan barang semata, namun lebih dari itu; hiburan, dan fasilitas tambahan di luar kegiatan utama berbelanja. Jelas pasar swasta yang hadir membawa kebutuhan tambahan tersebut.

Kiranya kita perlu melihat kebutuhan ini sedikit lebih dalam lagi. Di era serba digital kita tidak bisa menutup mata, mobilitas masyarakat semakin tinggi, kian bebas dan menawarkan banyak kegiatan guna memenuhi kebutuhan dapat dilakukan secara online. Cara yang jauh lebih efektif, efisien, tidak ribet, nyaman, yang terpenting murah waktu dan murah biaya.

Kita bisa melihat pertumbuhan jual beli online di Indonesia pada tahun 2012 pertumbuhan pasar digital di Indonesia menyentuh angka sekitar Rp 69 triliun, sedangkan pada tahun 2013 pertumbuhannya mulai merangkak naik hingga dua kali lipat yaitu sekitar Rp 130 triliun.

Dari sekitar 4,3 juta orang di tahun 2013 yang terbiasa berbelanja secara online, saat ini jumlahnya telah mencapai 7,4 juta orang. Melihat data dan prilaku saya pribadi sebagai konsumen yang tanpa di sadari mulai beralih ke ranah belanja online, saya kira teori kebutuhan benar adanya.

Tidak menutup kemungkinan kelak pasar online akan menggantikan posisi pasar rakyat maupun pasar swasta. Mengingat lebih dari separuh pengguna aktif internet di Indonesia adalah usia di bawah 30 tahun, sehingga ranah digital menjadi area basah untuk berkegiatan ekonomi.

Kalau sudah begitu maka yang akan bertahan adalah yang mampu menjawab kebutuhan generasi di setiap jaman. Sebagai konsumen kita perlu membaca diri kita sendiri, apakah benar kita telah mengalami perubahan dalam cara belanja?

Bagi saya belanja adalah soal ideologi, jika kemudian saya tetap berbelanja di pasar rakyat, walaupun di sana kebutuhan tambahan tidak saya dapatkan layaknya belanja di pasar swasta atau pasar online.

Sebab bagi petani seperti saya belanja di pasar rakyat jauh lebih aman untuk keuangan saya. Lha kalau saya belanja di mall saya takut gelap mata, dari rumah niatnya kaos kaki pulangnya yang di bawa sepatu karena iming-iming diskon, tidak menutup kemungkinan dapat gebetan juga si. Malah ngaco, kita sudahi saja. Terimakasih.


mudjirapontur
Petani dan penikmat kopi, kadang nulis puisi.